Bagong Sang Ketua Tingkat

DI postingan terdahulu sudah saya singgung nama Bagong. Nama ini julukan sekaligus panggilan saja. Nama KTP-nya sengaja saya rahasiakan demi menghindari pencatutan nama.
Dia adalah kawan kuliah saya yang paling akrab. Jabatannya bukan main: ketua tingkat. Saya katakan bukan main karena dia, dalam pandangan saya, tak punya tampang pemimpin blas. Saya heran kenapa kawan-kawan memilih laki-laki pendek, berperut mblenduk, jauh dari rupawan, pemuja voting, saat presentasi ngomongnya blekak-blekuk, ora modis, anti celana jins dan cengengesan itu. Kelebihannya cuma satu: bersedia dipilih.
Kami punya kesamaan hobi: doyan mimik ciu. Nyaris setiap hari, sehabis kuliah, kami urunan, pergi ke Sekar Pace, beli sebotol ciu oplosan. Kalau ada duit lebih, beli gepengan. Lalu, balik ke kampus, cari tempat sepi, glak-glek berdua. Kadang mengajak kenalan yang sehobi dengan kami.
Kami menggelar hobi itu secara sembunyi-sembunyi. Tidak enak bila ketahuan kawan-kawan seprogram-seangkatan. Apalagi Bagong ketua tingkat.
"Umpomo aku bukan kating, ora masalah mereka tahu. Kadung kepilih begini, mau tidak mau mesti sedikit jaim. Aku takut mengecewakan mereka."
Tak hanya di kampus, kami juga menggelar hobi itu saat KKL. Ke mana pun KKL-nya, tak pernah lupa membawa ciu. Semakin jauh, semakin banyak stoknya.
Suatu kali, angkatan kami mengadakan kunjungan ke Candi Sukuh, sebuah candi yang terletak di kaki Gunung Lawu. Amat cocok bila sambil minum anget-anget. Maka, sebelum berangkat kami ke Sekar Pace dulu. Sebotol ciu pun siap menemani.
Setelah membuat catatan-catatan penting dan mengambil foto dokumentasi, sesi selanjutnya jalan-jalan ke hutan di sekitar candi. Bagong menarik lengan saya.
"Mlaku keri wae. Ndi ciune?"
Saya mengambil botol ciu dari dalam tas dan mengulungkannya pada Bagong. "Nyoh!"
"Tak prawani sik, yo." Bagong membuka tutup botol dan menenggak isinya. Glegek. Matanya kier-kier menahan terjangan alkohol. Lalu, giliran saya. Glegek. Bagong lagi. Glegek. Botol sebentar-sebentar berpindah tangan. Mulut kebal-kebul asap rokok.
Jam 12 semua kembali ke pendopo dekat candi. Ngaso sebentar sebelum sholat dzuhur. Tak lama kemudian kawan-kawan berjalan ke masjid di bawah pendopo. Saya mencolek Bagong.
"Sholat, ora?"
"Penake piye?"
"Ha embuh. Ditakoni malah takon."
Bagong diam. Berpikir.
"Yo, wis. Ayo."
"Ayo nyang ngendi?"
"Sholat noh!"
"Kowe ki goblok opo pekok, Gong? Awake dewe bar ngombe!"
"Wooo, Cah Gendeng! Mau takon sholat opo ora. Bareng tak ajak sholat gek nggoblok-nggoblokke uwong. Gek ayo!"
"Ngombe ciu lho, Gong! Ciu! Sholat opo yo patut?"
"Tak kandani yo, Par. Selama pikirane sadar, ora edhan, tetep sah! Boleh sholat."
"Jare sopo?"
"Halah, rasah crigis. Gek ayo! Tak tinggal lho!"
Lekas-lekas kami ke masjid. Ambil wudhu, masuk masjid. Kawan-kawan mulai menyusun shaf, namun saling tunjuk untuk mengimami sholat. Bagong berdehem.
"Lha, iki katinge. Pak Kating wae sing ngimami. Ayo, Gong!"
Tanpa ragu Bagong maju. Langkahnya amat pede. Sejenak dia meneliti makmum. "Shaf dirapikan," ujarnya mantap. Dia lantas memulai sholat.
Sungguh, kali itu adalah sholat berjamaah terlama yang pernah saya ikuti. Lutut sampai gemetaran. Pikiran berkecamuk. Hati ngomel-ngomel.
Kembali ke pendopo, saya tanya Bagong, "Kowe mau moco opo to, Gong? Suwene ora jamak."
Bagong nyekikik pelan.
"Ora moco opo-opo."
"Al-Fatihah?"
"Yo, ora."
"Wooo, imam koclok!"
"Mung tak gawe suwe wae, ben ketok sholate khusyuk. Karo ngampet ngguyu. Lha, asline aku yo bimbang. Cangkem mambu ciu kok sholat."
"Hajindul! Tadi kok ngajak sholat? Kok jadi imam?"
Bagong nyekikik lagi.
"Gak enak noh. Yang lain sholat, mosok kating gak sholat."
"Yo rasah kemlinthi dadi imam. Pikiren makmummu, Gong. Gimana nasib sholat mereka jal? Yen sholatku ngono karuan mung mergo setia kawan."
"Sssssttt ... Menengo. Jangan bilang siapa-siapa. Mugi-mugi Gusti Alloh ngijabahi."
"Aishh!"
"Hehehehehe."

Sukoharjo Makmur, 7 Juli 2016

Unek-unek dari Ruang BK

KEBETULAN meja kerja saya meminjam salah satu sudut ruang BK. Alasannya, sinyal wifi (sesuatu yang vital dalam mendukung tugas operator sekolah) di sana lebih ngacir. Dengan demikian, saya sedikit banyak tahu siapa saja murid yang melanggar, doyan melanggar, punya masalah dan orang tua murid yang menghadiri undangan Pak Guru BK. Kalau tidak mencuri dengar-pandang, sesekali Pak Guru BK sendiri yang cerita pada saya. 
Sejak orang tua gampang (dan mungkin juga bangga) main lapor, guru-guru mapel di sekolah tempat saya kerja menumpukan semua problematika murid pada Pak Guru BK. Bahkan, murid ketahuan kentut di kelas saat proses pembelajaran saja langsung mereka suruh menghadap Pak Guru BK. 
Pantaslah bila Pak Guru BK paling sibuk mengurusi murid. Pagi-pagi sudah stand by di gerbang sekolah. Setiap pergantian jam pelajaran, satu per satu mengecek absensi murid. Nasehat dan omelan rutin meluncur dari tenggorokannya. Tiap hari menunya makan ati. Kadang kelimpungan memburu dan menyergap murid yang mbolos saat jam sekolah. Hebatnya, sampai sejauh ini dia masih fairplay. Belum satu kali pun main tangan dan main kaki. 
"Aku juga bingung murid-murid ndugal itu akan kuapakan, Pak. Teori-metode sudah mentok, ndak mempan!" 
"Tempeleng saja, Pak!" 
"Penginku, Pak. Tapi percuma, ndak bakalan mempan. Cuma dapat sakitnya doang." 
"Mbelingnya ngaudubilah mosok mau alus-alusan terus, Pak? Bisa ngelunjak!" 
"Ndak bisa, Pak, ndak bisa. Jamannya sudah lain. HAM!" 
Karena enggan memakai kekerasan, Pak Guru BK lantas mengambil jalan pamungkas, yaitu mengundang orang tua ke sekolah atau melakukan kunjungan rumah. Bersama membicarakan sekaligus mencari solusi. 
Atas dasar hasil curi-pandang dan cerita Pak Guru BK, saya ambil empat pernyataan orang tua murid yang saya rasa mewakili pernyataan-pernyataan lain: 
"Di rumah sudah saya hajar habis-habisan, Pak. Malah, ayahnya pernah mengurungnya di dalam WC. Terus terang, saya puyeng ngadepinnya. Saya pasrahkan saja sama Bapak." 
"Elho, anak saya di rumah manut lho. Waktunya belajar, ya, masuk kamar, belajar. Sholatnya rajin. Ngaji juga. Di sekolah kok begini ya, Pak?" 
"Bangunnya kesiangan terus, Pak. Tolong sampeyan maklumi. Mohon pengertian Bapak." 
"Saya tahu anak saya ngerokok. Wajar, Pak, kenakalan remaja." 
Mendengar pernyataan-pernyataan kurang mutu itu Pak Guru BK biasanya narik napas panjang. Prihatin. Maunya kerja sama cari solusi, tidak tahunya dirinya yang ketempuan. 
"Urusan murid kompleks, Pak. Bikin frustasi!" 
"Nggak gitu juga, Pak. Orang tua tetep harus ambil bagian. Jangan apa-apa nyerahkan ke sekolah, nyalahin sekolah. Emange sekolah tempat pemarkiran anak po piye?" 
"Siapa tahu mereka juga frustasi, Pak." 
"Salahe sopo kenthu!" 
"Ojo terus ngono kui, Pak." 
"Welha, rak bener to, Pak? Pendidikan pertama ada di tangan orang tua. Lha, orang tuanya frustasi, apalagi kita?" 
"Sebagus-bagusnya orang tua ndidik, belum tentu anake baik lho. Ingat, Pak, lingkungan kadang sangat kejam." 
Lingkungan? Oh, ya, hampir saya lupakan saat Pak Guru BK mengintrogasi murid: 
"Kamu beli rokok di mana?" 
"Di warung, Pak." 
"Kamu beli mendheman di mana?" 
"Di warung, Pak."
Saya tidak punya hak melarang warung jual rokok, jual miras. Cuma, mbok pilih-pilih konsumen. Lihat-lihat dulu siapa yang beli. Jangan asal sing penting payu, bro. 
Lain lagi di pergaulan. Kala-kala orang dewasa mengajarkan yang tidak-tidak. Memancing dan mendorong anak-anak untuk melakukan yang belum layak lelakon. Contoh kecil, ketika orang dewasa mengatakan hal berikut pada anak-anak:
"Kelas 2 SMP kok gak punya pacar? Pacaran dong, biar semangat belajarnya!"
"Udhuto, Le. Ra popo! Aku gak akan bilang-bilang sama bapakmu." 
"Sekolah gak usah rajin-rajin. Lulus belum karuan jadi apa kamu." 
Bila lingkungannya bajinguk, alpa mendidik, niscaya guru dan sekolah takkan mampu berbuat banyak. Murid, paling pol, ada di sekolah hanya 8 jam sehari. 16 jam sisanya, lebih banyak di rumah dan di lingkungan. Dari segi waktu, rumah dan lingkungan tentu lebih punya peluang untuk memengaruhi anak. 
"Idealnya, orang tua, lingkungan dan sekolah saling mendukung, Pak. Sama-sama terlibat." 
"Idealnya ya, Pak ..." 
"Idealnya begitu, Pak." 
"Susah, Pak, cari yang ideal." 
"Makanya saya bilang ngurusi murid bikin frustasi!" 
"Ya, sudah, Pak, bocah-bocah mbeling itu jangan dinaikkan. Biar rumongso!" 
"Pak Par ini, lho ... Mana berani sekolah kita ndak menaikkan murid. Wong butuh murid kok, Pak. Satu murid ndak naik, sekolah kita bisa tercoreng. Bisa ndak laku!" 
"Koyo ngono kui yo, Pak." 
"Kayak ndak paham sekolah ini saja, Pak, Pak. Sengotot apapun aku mengusulkan si X si Y ndak naik kelas, pasti percuma! Mereka bakal nyreweti aku."
"Pantesnya nggak naik, ya, nggak naik." 
"Wis, nanti didengar yang dapat sertifikasi ndak enak. Tak anggep wae iki resikone guru BK." 
Aduh, duh, saya salut betul sama Pak Guru BK, kawan seperjuangan dan seruang itu. Honorer, gajinya 200 ribu, tiap hari menghadapi kelakuan murid yang neko-neko, ortu yang masa bodo, lingkungan yang terlaluh dan orang dalam yang cari enak sendiri, kok bisa-bisanya sesabar itu. Coba kalau saya ... sudah saya gasak itu murid. Mau dibilang pelampiasan atau apalah, terserah. 
Dulu, sebelum dialihtugaskan ke meja operator, saya pernah ngajar. Kurang lebih 8 tahun. Selama itu, beberapa kali saya menggampar murid. Alhamdulillah, aman. Tak ada yang protes, tak tersentuh pidana. Sebab, saya pakai trik. Triknya sepele. Pertama, peringatkan murid yang nakal sebanyak 3 kali dengan intonasi tegas, lebih tegas dan makin tegas. Kedua, bila masih kelewat batas, panggil ke depan, lalu ajak bicara: 
"Kamu tahu kenapa saya panggil? Ngaku! Jujur!" 
"Karena saya bandel, Pak." 
"Kamu sadar sudah kebangeten?" 
"Sadar, Pak." 
"Saya sudah peringatkan kamu. Kenapa masih bedhigasan?" 
"Anu, Pak. Anu ..." 
"Terpaksa saya menghukum kamu. Paham?" 
"Paham, Pak." 
"Kamu mau hukuman apa? Push-up, berdiri di satu kaki, mengerjakan soal-soal satu LKS penuh,  membuat resume, dicubit, dijewer atau saya tampar?" 
"Ditampar, Pak." 
"Benar, kamu mau dihukum tampar?"
"Inggih, Pak."
"Tapi ingat, jangan salahkan saya. Kamu harus ikhlas dan tidak melapor sama bapak-ibu kamu." 
"Siap, Pak." 
"Janji?" 
"Janji, Pak."
 "Sumpah?" 
"Sumpah, Pak." 
"Demi apa?" 
"Demi Allah, Pak." 
PLAK!PLAK! 
"Aduuuuh ..." 
"Kamu sudah sumpah, lho. Saksinya sak kelas. Orang ingkar sumpah, do ..." 
"Sa ..." 
"Masuk nera ..." 
"Ka ..." 
"Kamu mau masuk neraka?" 
"Tidak, Pak." 
"Oke, jangan ingkari sumpahmu!" 
"Iya, Pak." 
"Duduk sana. Jangan bandel lagi!" 
Anehnya, mereka justru mecucu, menggerutu, bila saya menghukum dengan memberi tugas-tugas sekolah atau hukuman akademis lainnya. 

Sukoharjo Makmur, 4 Juli 2016